Raja Yang Tidak Patuh Pada Belanda
Sebelum Belanda menduduki Mandailing, Sutan Mangkutur
tentu sudah dapat melihat betapa besarnya penderitaan rakyat berada
dibawah kekuasaan dan penindasan orang asing. Sebab lama sebelum
Belanda menduduki Mandailing, kaum Paderi sudah lebih dahulu
menguasai daerah tersebut dan menindas rakyatnya. Sehingga akhirnya
abang kandung Sutan Mangkutur, yaitu Raja Gadombang bangkit melakukan
perlawanan terhadap kaum Paderi.
Oleh sebab itu, dapatlah dipahami mengapa ketika
Belanda mengambil oleh kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di
Mandailing, seperti yang telah diuraikan di atas, Sutan Mangkutur
tidak mematuhi perintah Belanda untuk membawa perkara anak negerinya
ke Singengu buat diadili oleh Belanda.
Sikap Sutan Mangkutur yang tidak mematuhi perintahnya
itu, ternyata tidak membuat Belanda mengambil tindakan terhadap Sutan
Mangkutur.
Kemungkinan sekali, Belanda memang terpaksa menahan
diri menghadapi sikap Sutan Mangkutur yang membangkang itu, karena ia
adalah adik kandung Raja Gadombang, Regen Mandailing, yang telah
banyak berjasa menolong Belanda ketika dalam kesulitan menghadapi
kaum Paderi di Rao beberapa tahun sebelumnya.
Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Perlawanan Sutan
Mangkutur
Pengalaman masa lalu Sutan Mangkutur, seperti yang
dikemukakan di atas, kiranya telah menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan Sutan Mangkutur tidak mau memberikan dirinya berada
dibawah kekuasaan orang asing. Sehingga ia mengambil sikap untuk
melawan, meskipun pada mula-mulanya perlawanannya itu hanya dalam
bentuk tidak mematuhi perintah Belanda.
Dalam proses selanjutnya, kemungkinan sekali Sutan
Mangkutur makin merasakan dan menyadari, bahwa dengan tindakannya
mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di
Mandailing, Belanda makin memperdalam kekuasaannya di Mandailing.
Sementara itu tindakan Belanda yang demikian, dirasakan pula
mengurangi kekuasaan tradisionalnya.
Tindakan Belanda itu, pada gilirannya tentu dapat ia
rasakan pula sebagai intervensi yang berbahaya terhadap persoalan
intern di negerinya.
Faktor-faktor yang demikianlah kiranya yang menyebabkan
Sutan Mangkutur, melalui suatu proses yang cukup lama, akhirnya
bangkit melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Sangkalon |
Di atas telah dikemukakan, bahwa tindakan Belanda
mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di
Mandailing dirasakan oleh Sutan Mangkutur mengurangi kekuasaan
tradisionalnya.
Alasannya untuk itu ialah, bahwa sebelum Belanda
menduduki Mandailing, secara tradisional atau menurut adat yang
berlaku di daerah tersebut. Sutan Mangkutur sebagai seorang raja,
mempunyai kekuasaan untuk mengadili sendiri anak negerinya yang
bersalah, bersama-sama dengan tokoh-tokoh "Namora Natoras".
Yaitu tokoh-tokoh terkemuka yang dituakan dan dihormati sepanjang
adat, sebagai wakil rakyat dengan fungsi untuk bersama-sama dengan
raja melakukan kegiatan pemerintahan secara demokratis dan juga ikut
serta melakukan kekuasaan pengadilan menurut adat.
Menurut adat atau tradisi yang dahulu berlaku di
Mandailing, pengadilan terhadap anak negeri yang melakukan kesalahan,
diselenggarakan oleh raja bersama "Namora Natoras" di satu
tempat yang bernama "Sopo Godang". Yaitu balai sidang
kerajaan, yang biasanya selalu terdapat disetiap negeri tempat
kedudukan raja.
Dengan adanya cara pengadilan tradisional yang demikian
itu, dapatlah dikatakan, bahwa sebelum Belanda datang rakyat dan
raja-raja di wilayah Mandailing menentukan hukumnya sendiri. Dan raja
bersama "Namora Natoras" mendapat kekuasaan dan kemuliaan
untuk menjalan pengadilan, menurut norma-norma adat yang berlaku.
Sopo Godang Huta Godang |
Ternyata kemudian, dihadapan Sutan Mangkutur Belanda
bertindak mengabaikan nilai-nilai budaya tradisional yang demikian
itu, yang sekaligus berarti pula mengurangi kekuasaan tradisional
Sutan Mangkutur sebagi salah seorang raja di Mandailing.
Lebih jauh lagi, tindakan Belanda seperti yang telah
dikemukakan di atas, tentu dapat dirasakan dan dipandang oleh Sutan
Mangkutur sebagai gangguan terhadap kedaulatannya sebagai seorang
raja, adik bekas Regen Mandailing (Raja Gadombang) yang telah banyak
jasanya terhadap Belanda. Tambahan pula, tindakan Belanda itu, cukup
beralasan untuk dapat dirasakan Sutan Mangkutur sebagai "tuntutan
untuk mengakui souvereinitas asing di Negerinya.
Dan hal tersebut dapat pula ditempatkan sebagai faktor
penting yang menyebabkan Sutan Mangkutur melakukan perlawanan
terhadap Belanda di Mandailing.
Perlawanan Sutan Mangkutur Menurut keterangan Raja
Junjungan Lubis, sebagai salah seorang keturunan Sutan Mangkutur,
sebelum perlawanan bersenjata dilakukan oleh Sutan Mangkutur terhadap
Belanda yang telah menduduki Mandailing, dan membuat benteng di
Singengu, Kotanopan, Sutan Mangkutur terlebih dahulu melakukan
pendekatan kepada raja-raja di Mandailing, yang dianggapnya dapat
diajak bekerja sama untuk memerangi Belanda yang berkedudukan di
Kotanopan.
Sebagai hasil pendekatan itu, pada satu waktu, Sutan
Mangkutur bersama beberapa orang raja di Mandailing menyelenggarakan
pertemuan rahasia di Huta Godang. Di dalam pertemuan itu, ikut hadir
Yang Dipertuan, yaitu raja dari Huta Siantar, Panyabungan, yang masih
punya hubungan keluarga yang dekat dengan Sutan Mangkutur.
Pada kesempatan tersebut, mereka membicarakan berbagai
hal menyangkut perlawanan yang akan dilakukan terhadap Belanda, yang
memusatkan kekuataannya di Singengu, Kotanopan, yang terletak kurang
lebih 20 kilometer dari Huta Godang.
Selanjutnya, untuk mengingat janji setia di antara
raja-raja di Mandailing yang akan memerangi Belanda, dilakukan
persumpahan. Upacara persumpahan itu diselenggarakan menurut cara
tradisional yang berlaku pada waktu itu, dengan mengambil tempat di
bawah serumpun bambu.
Pada upcara tersebut, semua raja-raja yang hadir,
masing-masing menyerahkan beberapa butir peluru, yang kemudian
dicampur dengan beras kuning atua "dahanon na niunikan",
yaitu beras yang dicampur dengan kunyit. Setelah itu peluru dan beras
kuning diadu dengan mempergunakan sebilah keris pusaka. Raja-raja
yang ikut di dalam upacara persumpahan itu masing-masing menyatakan
dengan sumpah, bahwa mereka tidak akan menembakkan pelurunya untuk
membunuh sesama kawan. Peluru mereka hanya dipergunakan untuk
membunuh "Si Bontar Mata" (si mata putih) yaitu Belanda.
Untuk upacara persumpahan itu, disediakan pula seekor
ayam yang dijahit mata dan lobang duburnya. Gunanya ialah untuk
memperkuat lagi isi persumpahan, agar barang siapa melakukan
pelanggaran atas sumpahnya akan mengalami nasih seperti ayam
tersebut.
Kemudian "Datu" sakti yang memimpin upacara
persumpahan itu mengupas kulit bambu yang tumbuh di tempat
penyelenggaraan upacara sumpah. Tujuannya ialah agar bambu itu mati
secara perlahan-lahan dan daunnya jatuh berguguran. Selesai mengupas
kulit batang bambu itu, sang "Datu" mengucapkan kata-kata:
"Sanga ise memangaluari tingon persumpaan on, membelut, songon
bulu on ma ia tu pudi ni ari, tu toru inda marurat, tu ginjang inda
marpusuk, rurus songon parrurus ni bulung ni bulu on. Dung i muse,
sange ise ma manguluari tingon persumpahan on, nangkan songon manuk
na dijait mata dohot mata muarana, tu julu inda mar ulu, tu jae inda
marmara". (artnya: "Barang siapa mengingkari persumpahan
ini, membelot, maka ia akan mengalami nasih seperti bambu ini di
kemudian hari, ke bawah tidak berakar, ke atas tidak berpucuk, gugur
seperti gugurnya daun bambu ini. Selain itu, barang siapa mengingkari
sumpah ini, ia akan mengalami nasib seperti ayam yang dijahit mat dan
lobang duburnya ini, ke hulu tidak berbulu, ke hilir tidak
bermuara").
Melalui persumpahan yang dilakukan di bawah rumpun
bambu itu, Sutan Mangkutur dan raja-raja yang lain, mengikat diri
mereka untuk selalu setia satu sama lain dan bersama-sama melakukan
perlawanan terhadap Belanda. Dengan demikian, diharapkan tidak akan
terjadi pengkhianatan di antara sesama mereka, apabila sudah tiba
waktunya mereka mengangkat senjata untuk memerangi Belanda di
Mandailing.
Di dalam pertemuan rahasia yang diselenggarakan di Huta
Godang itu, diputuskan pula, bahwa pada waktu yang telah ditentukan,
Sutan Mangkutur, bersama-sama dengan beberapa orang raja dari
Mandailing Julu, akan membawa pasukan mereka menyerang Belanda di
Singengu, Kotanopan, yang letaknya tidak begitu jauh dari Huta
Godang. Dan pada waktu yang sama, yang Dipertuan Huta Siantar,
bersama pasukannya akan melakukan serangan pula dari arah
Penyabungan. Dengan serangan yang demikian itu, yakni dengan serentak
datang dari dua arah yang berlawanan, diharapkan Belanda akan
terjepit dan hancur di tengah-tengah, yaitu Singengu, Kotanopan, yang
terletak di antara Huta Godang dan Penyabungan.
Yang Dipertuan Huta Siantar, yang ikut di dalam
pertemuan rahasia di Huta Godang itu, dan telah berjanji akan
melakukan serangan dari arah Penyabungan pada waktu Sutan Mangkutur
dari Huta Godang menyerang Belanda di Singengu, Kotanopan, sebenarnya
adalah seorang raja yang sejak lama telah bekerja sama dengan
Belanda.
Pada tahun 1837, yakni dua tahun sebelum serangan yang
pertama oleh Sutan Mangkutur terhadap Belanda, Yang Dipertuan Huta
Siantar, ikut membantu pasukan Belanda yang diperintah gubernur
militer Belanda, Michiels, melakukan serangan terhadap Tuanku Tambusi
di Padang Lawas (Dalu-dalu).
Yang Dipertuan Huta Siantar, mengepalai pasukan
Mandailing membantu pasukan Belanda di dalam penyerangan tersebut,
yang akhirnya berhasil mengalahkan Tuanku Tambusai.
Di samping itu, menurut keterangan Jenderal van Damme
(Jenderal Michiels) kepada seorang komisaris pemerintah (Belanda di
Batavia) yang datang ke Sumatra, ia dapat mengandalkan kesetiaan dan
kepatuhan Yang Dipertuan. Dan juga ia mengatakan, bahwa ia privadi
menjamin kesetiaan Yang Dipertuan.
Dan ternyata pula, "ia (Yang Dipertuan) seorang
yang punya rasa lebih tinggi derajat kedudukannya dari orang lain.
Sehingga pernah menimbulkan pemusahan antara Yang Dipertuan dengan
kepala negeri Natal".
Pantas diperkirakan, bahwa latar belakang yang demikian
bisa saja membuat Yang Dipertuan ingkar terhadap sumpah yang pernah
ia buat dalam pertemuan rahasia di Huta Godang, sebelum Sutan
Mangkutur mulai menyerang Belanda.
Setelah berproses selama kurang lebih dua tahun, yaitu
sejak Belanda bertindak mengambil alih kekuasaan pengadilan dari
tangan raja-raja di Mandailing pad atahun 1837, maka sesudah
pertemuan rahasia di Huta Godang di tahun 1839, Sutan Mangkutur mulai
mempersiapkan pasukan untuk menyerang Belanda di Kotanopan yang
terletak lebih 20 kilo meter dari Huta Godang.
Menurut keputusan pertemuan rahasia di Huta Godang itu,
pada saat Sutan Mangkutur melakukan serangan terhadap Belanda di
Kotanopan, Yang Dipertuan Huta Siantar akan melakukan serangan pula
dari arah Penyabungan.
Persenjataan Perang |
Tetapi ternyata kemudian, sebelum Sutan Mangkutur
bersama pasukannya bergerak dari Huta Godang untuk melakukan serangan
bersenjata ke Kotanopan, Belanda sudah lebih dahulu mengetahui
rencana penyerangan Sutan Mangkutur itu. Oleh sebab itu, Belanda
bergerak dari Kotanopan menuju Huta Godang untuk lebih dahulu
menyerang Sutan Mangkutur.
Sebelum pasukan Belanda tiba di Huta Godang, kedatangan
mereka telah diketahui pula oleh Sutan Mangkutur, yang segera membawa
pasukannya menghadapi kedatangan Belanda. Dan akhirnya bertemulah
pasukan Belanda dan pasukan Sutan Mangkutur di satu tempat yang
bernama Batu Godang (Batu Besar) di dekat kampung Sipalupuk, yang
tidak begitu jauh dari Huta Godang.
Maka terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Sutan
Mangkutur dan pasukan Belanda di tempat itu, yang mengakibatkan
matinya beberapa orang perwira Belanda dan puluhan orang anggota
pasukannya.
Batu Godang |
Dalam pertempuran yang pertama itu, pasukan Belanda
dapat dikalahkan pasukan Sutan Mangkutur, sehingga mereka terpaksa
mundur kembali ke Kotanopan, sambil dikejar terus oleh pasukan Sutan
Mangkutur yang mengharapkan kedatangan pasukan Yang Dipertuan Huta
Siantar dari Penyabungan untuk bersama-sama menyerang Belanda.
Oleh karena itu, timbul dugaan, bahwa yang
memberitahukan rencana penyerangan Sutan Mangkutur terhadap Belanda,
adalah Yang Dipertuan Huta Siantar, meskipun ia telah ikut di dalam
persumpahan yang dilakukan di Huta Godang.
Di dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya, Sutan
Mangkutur selalu didampingi oleh beberapa orang hulu balangnya yang
setia, mereka adalah Ja Layang, Sampuran Tolang, Balang Garang,
Langka Salupak dan Manimba Laut.
Pada suatu saat, ketika pasukan Sutan Mangkutur
melakukan serangan lagi ke Kotanopan, terjadilah pertempuran sengit
di satu tempat bernama Paya Ombur, di seberang Sungai Batang Gadis
yang tidak begitu jauh letaknya dari Kotanopan. Di dalam pertempuan
tersebut, hulu balang Ja Layang mati tertembak, yang dirasakan
sebagai pukulan berat oleh Sutan Mangkutur. Karena Ja Layang adalah
hulu balang Sutan Mangkutur yang terpenting, dan dikenal sebagai hulu
balang yang sangat berani.
Selanjutnya, karena pasukan Belanda bertambah kuat
dengan bantuan orang-orang Mandailing sendiri, maka Sutan Mangkutur
bersama pasukannya terpaksa mundur ke Huta Godang dan bertahan sambil
bersembunyi di satu tempat rahasia di luar Huta Godang.
"Sungguh menyedihkan bagi beliau, sebab sebahagian
dari raja-raja yang disangkanya semula sehaluan, dan bersetia di
dalam menjalankan maksudnya itu (bertempur melawan Belanda), telah
berkhianat menyebelah kepada Gouvernement".
Sutan Mangkutur Ditangkap Belanda
Ketika Sutan Mangkutur dan pasukannya terpaksa mundur
dan bertahan sambil bersembunyi di satu tempat rahasia di luar Huta
Godang datanglah pasukan Belanda untuk menyerangnya. Dan ternyata
Yang Dipertuan Huta Siantar ikut bersama pasukan Belanda itu.
Kenyataan yang demikian itu, kiranya membuktikan bahwa Yang Dipertuan
Huta Siantar, lebih suka berpihak kepada Belanda daripada ikut
bersama Sutan Mangkutur untuk melepaskan negerinya dari kekuasaan
penjajah.
Setibanya pasukan Belanda di Huta Godang, bersama-sama
dengan Yang Dipertuan Huta Siantar, mereka langsung hendak membakar
rumah-rumah dan "Bagas Godang" (istana raja) di tempat
tersebut.
Melihat tindakan Belanda yang demikian itu isteri Sutan
Mangkutur yang kebetulan sedang berada di "alaman Bolak"
(halaman istana), segera pergi mendapatkan Yang Dipertuan Huta
Siantar sambil menangis meminta agar Yang Dipertuan Huta Siantar
(yang masih punya hubungan keluarga dengan Sutan Mangkutur) mencegah
pasukan Belanda membakar Huta Godang.
Atas jasa-jasa baik Yang Dipertuan Huta Siantar,
terhindarlah Huta Godang dari kemusnahan dimakan api. Dan atas
jasa-jasa baiknya itu, Yang Dipertuan Huta Siantar, sebagai orang
yang masih mempunyai hubungan dekat dengan Sutan Mangkutur, meminta
agar isteri Sutan Mangkutur memberitahukan kepadanya di mana Sutan
Mangkutur dan pasukannya bersembunyi.
Permintaan Yang Dipertuan itu pada mulanya ditolak oleh
isteri Sutan Mangkutur. Tetapi akhirnya Yang Dipertuan berhasil
membujuk isteri Sutan Mangkutur untuk menunjukkan tempat
persembunyian suaminya, dengan alasan bahwa kedatangan bersama
Belanda adalah untuk melakukan perdamaian dengan Sutan Mangkutur. Dan
sebagai orang yang masih punya hubungan keluarga dengan Sutan
Mangkutur, Yang Dipertuan memberi janji dan menjamin, bahwa Sutan
Mangkutur tidak akan diapa-apakan oleh Belanda.
Di balik peranan Yang Dipertuan Huta Siantar yang
dilakukannya dengan sangat menyakinkan itu, rupa-rupanya telah
direncanakan siasat dan tipuan licik seperti yang sudah biasa
dilakukan Belanda untuk menangkap musuhnya.
Kemudian, setelah dapat diyakinkan oleh Yang Dipertuan
bahwa kedatangannya bersama Belanda ke Huta Godang adalah untuk
mengadakan perdamaian dengan Sutan Mangkutur, dikirimkan utusan oleh
isteri Sutan Mangkutur untuk menjemput suaminya dari tempat
persembunyiannya yang dirahasiakan.
Ketika Sutan Mangkutur berada dalam perjalan dari
tempat persembunyiannya menuju Huta Godang, pasukan Belanda yang
telah diperintahkan atasannya untuk mengikuti utusan yang menghubungi
Sutan Mangkutur secara sembunyi-sembunyi, berhasil menangkap Sutan
Mangkutur.
Keberhasilan Belanda menangkap Sutan Mangkutur dengan
cara licik itu, tentu tidak terlepas dari kelihaisan Yang Dipertuan
Hutan Siantar menjalankan peranannya dengan cara yang amat
menyakinkan, sehingga Sutan Mangkutur tidak berdaya menghadapi tipuan
Belanda.
Dan atas prestasi gemilang yang demikian itulah kiranya
maka dikemudian hari Jenderal Michiels secara pribadi "menjamin
kesetiaan Yang Dipertuan, dan dapat pula mengandalikan kepatuhannya".
Sutan Mangkutur Dibuang Oleh Belanda
Setelah Sutan Mangkutur dapat ditangkap Belanda cara tipuan yang licik itu, maka iapun dibawa ke Huta Godang. Kemudian dihadapkan "Namora Natoras" dan rakyatnya sendiri di Huta Godang, dengan cara yang amat menghinakan. Belanda mengumumkan diturunkannya Sutan Mangkutur dari tahta kerajaannya di Huta Godang, Ulu Pungkut, di Mandailing Julu.
Setelah Sutan Mangkutur dapat ditangkap Belanda cara tipuan yang licik itu, maka iapun dibawa ke Huta Godang. Kemudian dihadapkan "Namora Natoras" dan rakyatnya sendiri di Huta Godang, dengan cara yang amat menghinakan. Belanda mengumumkan diturunkannya Sutan Mangkutur dari tahta kerajaannya di Huta Godang, Ulu Pungkut, di Mandailing Julu.
Dan selajutnya, Sutan Mangkutur ditempatkan sebagai
penjahat yang telah melawan terhadap Belanda, sehingga ia diwajibkan
membayar denda dengan sejumlah mas kepada Belanda. Akhirnya "pada
tahun itu juga (1839) diasingkan ke pulau Ambon dengan tiga orang
saudaranya bernama: Sutan Naga, Sapala Raja, Raja Mangatas. Di tempat
pengasingan itulah masing-masing menempuh ajalnya, cuma seorang yang
sempat pulang ke negerinya, yaitu Sutan Mangatas. Beliau ini seroang
budiman yang banyak beroleh pengetahuan selama berada di tempat
pengasingan. Diterbarkannya penuntutan itu dan lama lagi hidup
menceritakan semua kejadian dan pengalaman yang sudah-sudah, yaitu
zaman yang penuh dengan pengorbanan, penderitaan, masa yang sudah
lama silam".
Sebelum Belanda membawa Sutan Mangkutur dari Huta
Godang ia lebih dahulu harus membayar denda emas yang telah
dijatuhkan ke atas dirinya. Tetapi ternyata ia tidak mempunyai cukup
mas untuk membayar denda tersebut.
Untuk mengatasi hal itu, tujuh orang raja dari
Mandailing Julu semufakat untuk ikut bersama-sama membantu Sutan
Mangkutur membayar denda itu kepada Belanda. Dan akhirnya delapan
orang raja termasuk Sutan Mangkutur sendiri membayar denda tersebut,
dengan memberikan masing-masing seperdelapan bahagian.
Pembahagian beban secara merata yang demikian itu,
dikemudian hari dikenal sebagai solidaritas delapan raja di
Mandailing Julu, dan dinamakan "Dandang na saparwaluan",
yang dapat diartikan, masing-masing didenda seperdelapan bahagian.
Kedelapan raja di Mandailing Julu yang dikenal sebagai
"Dandang na saparwaluan" itu terdiri dari:
1. Raja Huta Godang (Sutan Mangkutur sendiri)
2. Raja Patahajang
3. Raja Tolang
4. Raja Hutapungkut
5. Raja Tamiang
6. Raja Muarasipongi
7. Raja Pakantan Dolok
8. Raja Pakantan Lombang
1. Raja Huta Godang (Sutan Mangkutur sendiri)
2. Raja Patahajang
3. Raja Tolang
4. Raja Hutapungkut
5. Raja Tamiang
6. Raja Muarasipongi
7. Raja Pakantan Dolok
8. Raja Pakantan Lombang
Setelah pembayaran denda itu selesai, dibawalah Sutan
Mangkutur dari Huta Godang, untuk selanjutnya dibuang oleh Belanda ke
Ambon.
Pembuangan Sutan Mangkutur bersama tiga orang
saudaranya itu, menimbulkan duka yang amat dalam bagi rakyat
Mandailing yang bersimpati kepada mereka, terutama bagi penduduk di
Huta Godang dan seluruh kawasan Ulu Pungkut. Rakyatnya sangat
mencintai Sutan Mangkutur yang mereka kenal sebagai seorang raja
"parbatu mamang di Indora" (raja yang mempunyai pendirian
yang sangat teguh). Oleh sebab itu, ketika Belanda membawa Sutan
Mangkutur dari Huta Godang, penduduk "mengandungi" atau
meratapi kepergiannya dengan cara tradisional yang biasa dilakukan
apabila raja meninggal dunia.
Meskipun kejadian menyedihkan itu terjadi hampir satu
setengah abad yang lalu, hingga sekarang di Huta Godang masih ada
orang yang ingat bahwa dahulu di negeri itu dalam kehidupan
masyarakat pernah terdapat ratapan sedih yang bernama "Andung-andung
ni Sutan Mangkutur na langka buat tu pambuangan" (ratapan untuk
Sutan Mangkutur yang berangkat ke pembuangan).
Sejak Sutan Mangkutur dibawa Belanda dari Huta Godang
hampir satu setengah abad yang lalu untuk dibuang ke Ambon karena
telah melakukan perlawanan terhadap Belanda di Mandailing, ia tidak
pernah kembali lagi, karena jiwanya melayang dalam pembuangan
Belanda. Sampai sekarang tidak diketahui di mana letak pusaranya.
Oleh sebab itu, kiranya tidak berlebihan kalau Sutan Mangkutur
disebut sebagai "pahlawan yang dilupakan" selama ini.
Makam Raja - Raja keturunan Sutan Mangkutur |
Menarik.. tapi yg dipertuan huta siantar bisa jadi masih berpegang pada perjanjian raja gadumbang dengan belanda untuk mengusir kaum paderi supaya rakyat mandheling tetap menjunjung adat. Satu pertanyaan lagi.. kapan tepatnya secara resmi sutan mangkutur menjadi raja mandheling?
BalasHapus