PAHLAWAN YANG TERLUPAKAN

Raja Yang Tidak Patuh Pada Belanda

Sebelum Belanda menduduki Mandailing, Sutan Mangkutur tentu sudah dapat melihat betapa besarnya penderitaan rakyat berada dibawah kekuasaan dan penindasan orang asing. Sebab lama sebelum Belanda menduduki Mandailing, kaum Paderi sudah lebih dahulu menguasai daerah tersebut dan menindas rakyatnya. Sehingga akhirnya abang kandung Sutan Mangkutur, yaitu Raja Gadombang bangkit melakukan perlawanan terhadap kaum Paderi.
Oleh sebab itu, dapatlah dipahami mengapa ketika Belanda mengambil oleh kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di Mandailing, seperti yang telah diuraikan di atas, Sutan Mangkutur tidak mematuhi perintah Belanda untuk membawa perkara anak negerinya ke Singengu buat diadili oleh Belanda.
Sikap Sutan Mangkutur yang tidak mematuhi perintahnya itu, ternyata tidak membuat Belanda mengambil tindakan terhadap Sutan Mangkutur.
Kemungkinan sekali, Belanda memang terpaksa menahan diri menghadapi sikap Sutan Mangkutur yang membangkang itu, karena ia adalah adik kandung Raja Gadombang, Regen Mandailing, yang telah banyak berjasa menolong Belanda ketika dalam kesulitan menghadapi kaum Paderi di Rao beberapa tahun sebelumnya.


Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Perlawanan Sutan Mangkutur
 
Pengalaman masa lalu Sutan Mangkutur, seperti yang dikemukakan di atas, kiranya telah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Sutan Mangkutur tidak mau memberikan dirinya berada dibawah kekuasaan orang asing. Sehingga ia mengambil sikap untuk melawan, meskipun pada mula-mulanya perlawanannya itu hanya dalam bentuk tidak mematuhi perintah Belanda.
Dalam proses selanjutnya, kemungkinan sekali Sutan Mangkutur makin merasakan dan menyadari, bahwa dengan tindakannya mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di Mandailing, Belanda makin memperdalam kekuasaannya di Mandailing. Sementara itu tindakan Belanda yang demikian, dirasakan pula mengurangi kekuasaan tradisionalnya.
Tindakan Belanda itu, pada gilirannya tentu dapat ia rasakan pula sebagai intervensi yang berbahaya terhadap persoalan intern di negerinya.
Faktor-faktor yang demikianlah kiranya yang menyebabkan Sutan Mangkutur, melalui suatu proses yang cukup lama, akhirnya bangkit melakukan perlawanan terhadap Belanda. 

Sangkalon
Di atas telah dikemukakan, bahwa tindakan Belanda mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di Mandailing dirasakan oleh Sutan Mangkutur mengurangi kekuasaan tradisionalnya.
Alasannya untuk itu ialah, bahwa sebelum Belanda menduduki Mandailing, secara tradisional atau menurut adat yang berlaku di daerah tersebut. Sutan Mangkutur sebagai seorang raja, mempunyai kekuasaan untuk mengadili sendiri anak negerinya yang bersalah, bersama-sama dengan tokoh-tokoh "Namora Natoras". Yaitu tokoh-tokoh terkemuka yang dituakan dan dihormati sepanjang adat, sebagai wakil rakyat dengan fungsi untuk bersama-sama dengan raja melakukan kegiatan pemerintahan secara demokratis dan juga ikut serta melakukan kekuasaan pengadilan menurut adat.
Menurut adat atau tradisi yang dahulu berlaku di Mandailing, pengadilan terhadap anak negeri yang melakukan kesalahan, diselenggarakan oleh raja bersama "Namora Natoras" di satu tempat yang bernama "Sopo Godang". Yaitu balai sidang kerajaan, yang biasanya selalu terdapat disetiap negeri tempat kedudukan raja.
Dengan adanya cara pengadilan tradisional yang demikian itu, dapatlah dikatakan, bahwa sebelum Belanda datang rakyat dan raja-raja di wilayah Mandailing menentukan hukumnya sendiri. Dan raja bersama "Namora Natoras" mendapat kekuasaan dan kemuliaan untuk menjalan pengadilan, menurut norma-norma adat yang berlaku.
Sopo Godang Huta Godang
Ternyata kemudian, dihadapan Sutan Mangkutur Belanda bertindak mengabaikan nilai-nilai budaya tradisional yang demikian itu, yang sekaligus berarti pula mengurangi kekuasaan tradisional Sutan Mangkutur sebagi salah seorang raja di Mandailing.
Lebih jauh lagi, tindakan Belanda seperti yang telah dikemukakan di atas, tentu dapat dirasakan dan dipandang oleh Sutan Mangkutur sebagai gangguan terhadap kedaulatannya sebagai seorang raja, adik bekas Regen Mandailing (Raja Gadombang) yang telah banyak jasanya terhadap Belanda. Tambahan pula, tindakan Belanda itu, cukup beralasan untuk dapat dirasakan Sutan Mangkutur sebagai "tuntutan untuk mengakui souvereinitas asing di Negerinya.
Dan hal tersebut dapat pula ditempatkan sebagai faktor penting yang menyebabkan Sutan Mangkutur melakukan perlawanan terhadap Belanda di Mandailing.
Perlawanan Sutan Mangkutur Menurut keterangan Raja Junjungan Lubis, sebagai salah seorang keturunan Sutan Mangkutur, sebelum perlawanan bersenjata dilakukan oleh Sutan Mangkutur terhadap Belanda yang telah menduduki Mandailing, dan membuat benteng di Singengu, Kotanopan, Sutan Mangkutur terlebih dahulu melakukan pendekatan kepada raja-raja di Mandailing, yang dianggapnya dapat diajak bekerja sama untuk memerangi Belanda yang berkedudukan di Kotanopan.
Sebagai hasil pendekatan itu, pada satu waktu, Sutan Mangkutur bersama beberapa orang raja di Mandailing menyelenggarakan pertemuan rahasia di Huta Godang. Di dalam pertemuan itu, ikut hadir Yang Dipertuan, yaitu raja dari Huta Siantar, Panyabungan, yang masih punya hubungan keluarga yang dekat dengan Sutan Mangkutur.
Pada kesempatan tersebut, mereka membicarakan berbagai hal menyangkut perlawanan yang akan dilakukan terhadap Belanda, yang memusatkan kekuataannya di Singengu, Kotanopan, yang terletak kurang lebih 20 kilometer dari Huta Godang.
Selanjutnya, untuk mengingat janji setia di antara raja-raja di Mandailing yang akan memerangi Belanda, dilakukan persumpahan. Upacara persumpahan itu diselenggarakan menurut cara tradisional yang berlaku pada waktu itu, dengan mengambil tempat di bawah serumpun bambu.
Pada upcara tersebut, semua raja-raja yang hadir, masing-masing menyerahkan beberapa butir peluru, yang kemudian dicampur dengan beras kuning atua "dahanon na niunikan", yaitu beras yang dicampur dengan kunyit. Setelah itu peluru dan beras kuning diadu dengan mempergunakan sebilah keris pusaka. Raja-raja yang ikut di dalam upacara persumpahan itu masing-masing menyatakan dengan sumpah, bahwa mereka tidak akan menembakkan pelurunya untuk membunuh sesama kawan. Peluru mereka hanya dipergunakan untuk membunuh "Si Bontar Mata" (si mata putih) yaitu Belanda.
Untuk upacara persumpahan itu, disediakan pula seekor ayam yang dijahit mata dan lobang duburnya. Gunanya ialah untuk memperkuat lagi isi persumpahan, agar barang siapa melakukan pelanggaran atas sumpahnya akan mengalami nasih seperti ayam tersebut.
Kemudian "Datu" sakti yang memimpin upacara persumpahan itu mengupas kulit bambu yang tumbuh di tempat penyelenggaraan upacara sumpah. Tujuannya ialah agar bambu itu mati secara perlahan-lahan dan daunnya jatuh berguguran. Selesai mengupas kulit batang bambu itu, sang "Datu" mengucapkan kata-kata: "Sanga ise memangaluari tingon persumpaan on, membelut, songon bulu on ma ia tu pudi ni ari, tu toru inda marurat, tu ginjang inda marpusuk, rurus songon parrurus ni bulung ni bulu on. Dung i muse, sange ise ma manguluari tingon persumpahan on, nangkan songon manuk na dijait mata dohot mata muarana, tu julu inda mar ulu, tu jae inda marmara". (artnya: "Barang siapa mengingkari persumpahan ini, membelot, maka ia akan mengalami nasih seperti bambu ini di kemudian hari, ke bawah tidak berakar, ke atas tidak berpucuk, gugur seperti gugurnya daun bambu ini. Selain itu, barang siapa mengingkari sumpah ini, ia akan mengalami nasib seperti ayam yang dijahit mat dan lobang duburnya ini, ke hulu tidak berbulu, ke hilir tidak bermuara").
Melalui persumpahan yang dilakukan di bawah rumpun bambu itu, Sutan Mangkutur dan raja-raja yang lain, mengikat diri mereka untuk selalu setia satu sama lain dan bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan demikian, diharapkan tidak akan terjadi pengkhianatan di antara sesama mereka, apabila sudah tiba waktunya mereka mengangkat senjata untuk memerangi Belanda di Mandailing.
Di dalam pertemuan rahasia yang diselenggarakan di Huta Godang itu, diputuskan pula, bahwa pada waktu yang telah ditentukan, Sutan Mangkutur, bersama-sama dengan beberapa orang raja dari Mandailing Julu, akan membawa pasukan mereka menyerang Belanda di Singengu, Kotanopan, yang letaknya tidak begitu jauh dari Huta Godang. Dan pada waktu yang sama, yang Dipertuan Huta Siantar, bersama pasukannya akan melakukan serangan pula dari arah Penyabungan. Dengan serangan yang demikian itu, yakni dengan serentak datang dari dua arah yang berlawanan, diharapkan Belanda akan terjepit dan hancur di tengah-tengah, yaitu Singengu, Kotanopan, yang terletak di antara Huta Godang dan Penyabungan.
Yang Dipertuan Huta Siantar, yang ikut di dalam pertemuan rahasia di Huta Godang itu, dan telah berjanji akan melakukan serangan dari arah Penyabungan pada waktu Sutan Mangkutur dari Huta Godang menyerang Belanda di Singengu, Kotanopan, sebenarnya adalah seorang raja yang sejak lama telah bekerja sama dengan Belanda.
Pada tahun 1837, yakni dua tahun sebelum serangan yang pertama oleh Sutan Mangkutur terhadap Belanda, Yang Dipertuan Huta Siantar, ikut membantu pasukan Belanda yang diperintah gubernur militer Belanda, Michiels, melakukan serangan terhadap Tuanku Tambusi di Padang Lawas (Dalu-dalu).
Yang Dipertuan Huta Siantar, mengepalai pasukan Mandailing membantu pasukan Belanda di dalam penyerangan tersebut, yang akhirnya berhasil mengalahkan Tuanku Tambusai.
Di samping itu, menurut keterangan Jenderal van Damme (Jenderal Michiels) kepada seorang komisaris pemerintah (Belanda di Batavia) yang datang ke Sumatra, ia dapat mengandalkan kesetiaan dan kepatuhan Yang Dipertuan. Dan juga ia mengatakan, bahwa ia privadi menjamin kesetiaan Yang Dipertuan.
Dan ternyata pula, "ia (Yang Dipertuan) seorang yang punya rasa lebih tinggi derajat kedudukannya dari orang lain. Sehingga pernah menimbulkan pemusahan antara Yang Dipertuan dengan kepala negeri Natal".
Pantas diperkirakan, bahwa latar belakang yang demikian bisa saja membuat Yang Dipertuan ingkar terhadap sumpah yang pernah ia buat dalam pertemuan rahasia di Huta Godang, sebelum Sutan Mangkutur mulai menyerang Belanda.
Setelah berproses selama kurang lebih dua tahun, yaitu sejak Belanda bertindak mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di Mandailing pad atahun 1837, maka sesudah pertemuan rahasia di Huta Godang di tahun 1839, Sutan Mangkutur mulai mempersiapkan pasukan untuk menyerang Belanda di Kotanopan yang terletak lebih 20 kilo meter dari Huta Godang.
Menurut keputusan pertemuan rahasia di Huta Godang itu, pada saat Sutan Mangkutur melakukan serangan terhadap Belanda di Kotanopan, Yang Dipertuan Huta Siantar akan melakukan serangan pula dari arah Penyabungan.
Persenjataan Perang
Tetapi ternyata kemudian, sebelum Sutan Mangkutur bersama pasukannya bergerak dari Huta Godang untuk melakukan serangan bersenjata ke Kotanopan, Belanda sudah lebih dahulu mengetahui rencana penyerangan Sutan Mangkutur itu. Oleh sebab itu, Belanda bergerak dari Kotanopan menuju Huta Godang untuk lebih dahulu menyerang Sutan Mangkutur.
Sebelum pasukan Belanda tiba di Huta Godang, kedatangan mereka telah diketahui pula oleh Sutan Mangkutur, yang segera membawa pasukannya menghadapi kedatangan Belanda. Dan akhirnya bertemulah pasukan Belanda dan pasukan Sutan Mangkutur di satu tempat yang bernama Batu Godang (Batu Besar) di dekat kampung Sipalupuk, yang tidak begitu jauh dari Huta Godang.
Maka terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Sutan Mangkutur dan pasukan Belanda di tempat itu, yang mengakibatkan matinya beberapa orang perwira Belanda dan puluhan orang anggota pasukannya.

Batu Godang
Dalam pertempuran yang pertama itu, pasukan Belanda dapat dikalahkan pasukan Sutan Mangkutur, sehingga mereka terpaksa mundur kembali ke Kotanopan, sambil dikejar terus oleh pasukan Sutan Mangkutur yang mengharapkan kedatangan pasukan Yang Dipertuan Huta Siantar dari Penyabungan untuk bersama-sama menyerang Belanda.
Oleh karena itu, timbul dugaan, bahwa yang memberitahukan rencana penyerangan Sutan Mangkutur terhadap Belanda, adalah Yang Dipertuan Huta Siantar, meskipun ia telah ikut di dalam persumpahan yang dilakukan di Huta Godang.
Di dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya, Sutan Mangkutur selalu didampingi oleh beberapa orang hulu balangnya yang setia, mereka adalah Ja Layang, Sampuran Tolang, Balang Garang, Langka Salupak dan Manimba Laut.
Pada suatu saat, ketika pasukan Sutan Mangkutur melakukan serangan lagi ke Kotanopan, terjadilah pertempuran sengit di satu tempat bernama Paya Ombur, di seberang Sungai Batang Gadis yang tidak begitu jauh letaknya dari Kotanopan. Di dalam pertempuan tersebut, hulu balang Ja Layang mati tertembak, yang dirasakan sebagai pukulan berat oleh Sutan Mangkutur. Karena Ja Layang adalah hulu balang Sutan Mangkutur yang terpenting, dan dikenal sebagai hulu balang yang sangat berani.
Selanjutnya, karena pasukan Belanda bertambah kuat dengan bantuan orang-orang Mandailing sendiri, maka Sutan Mangkutur bersama pasukannya terpaksa mundur ke Huta Godang dan bertahan sambil bersembunyi di satu tempat rahasia di luar Huta Godang.
"Sungguh menyedihkan bagi beliau, sebab sebahagian dari raja-raja yang disangkanya semula sehaluan, dan bersetia di dalam menjalankan maksudnya itu (bertempur melawan Belanda), telah berkhianat menyebelah kepada Gouvernement".


Sutan Mangkutur Ditangkap Belanda

Ketika Sutan Mangkutur dan pasukannya terpaksa mundur dan bertahan sambil bersembunyi di satu tempat rahasia di luar Huta Godang datanglah pasukan Belanda untuk menyerangnya. Dan ternyata Yang Dipertuan Huta Siantar ikut bersama pasukan Belanda itu. Kenyataan yang demikian itu, kiranya membuktikan bahwa Yang Dipertuan Huta Siantar, lebih suka berpihak kepada Belanda daripada ikut bersama Sutan Mangkutur untuk melepaskan negerinya dari kekuasaan penjajah.
Setibanya pasukan Belanda di Huta Godang, bersama-sama dengan Yang Dipertuan Huta Siantar, mereka langsung hendak membakar rumah-rumah dan "Bagas Godang" (istana raja) di tempat tersebut.
Melihat tindakan Belanda yang demikian itu isteri Sutan Mangkutur yang kebetulan sedang berada di "alaman Bolak" (halaman istana), segera pergi mendapatkan Yang Dipertuan Huta Siantar sambil menangis meminta agar Yang Dipertuan Huta Siantar (yang masih punya hubungan keluarga dengan Sutan Mangkutur) mencegah pasukan Belanda membakar Huta Godang.
Atas jasa-jasa baik Yang Dipertuan Huta Siantar, terhindarlah Huta Godang dari kemusnahan dimakan api. Dan atas jasa-jasa baiknya itu, Yang Dipertuan Huta Siantar, sebagai orang yang masih mempunyai hubungan dekat dengan Sutan Mangkutur, meminta agar isteri Sutan Mangkutur memberitahukan kepadanya di mana Sutan Mangkutur dan pasukannya bersembunyi.
Permintaan Yang Dipertuan itu pada mulanya ditolak oleh isteri Sutan Mangkutur. Tetapi akhirnya Yang Dipertuan berhasil membujuk isteri Sutan Mangkutur untuk menunjukkan tempat persembunyian suaminya, dengan alasan bahwa kedatangan bersama Belanda adalah untuk melakukan perdamaian dengan Sutan Mangkutur. Dan sebagai orang yang masih punya hubungan keluarga dengan Sutan Mangkutur, Yang Dipertuan memberi janji dan menjamin, bahwa Sutan Mangkutur tidak akan diapa-apakan oleh Belanda.
Di balik peranan Yang Dipertuan Huta Siantar yang dilakukannya dengan sangat menyakinkan itu, rupa-rupanya telah direncanakan siasat dan tipuan licik seperti yang sudah biasa dilakukan Belanda untuk menangkap musuhnya.
Kemudian, setelah dapat diyakinkan oleh Yang Dipertuan bahwa kedatangannya bersama Belanda ke Huta Godang adalah untuk mengadakan perdamaian dengan Sutan Mangkutur, dikirimkan utusan oleh isteri Sutan Mangkutur untuk menjemput suaminya dari tempat persembunyiannya yang dirahasiakan.
Ketika Sutan Mangkutur berada dalam perjalan dari tempat persembunyiannya menuju Huta Godang, pasukan Belanda yang telah diperintahkan atasannya untuk mengikuti utusan yang menghubungi Sutan Mangkutur secara sembunyi-sembunyi, berhasil menangkap Sutan Mangkutur.
Keberhasilan Belanda menangkap Sutan Mangkutur dengan cara licik itu, tentu tidak terlepas dari kelihaisan Yang Dipertuan Hutan Siantar menjalankan peranannya dengan cara yang amat menyakinkan, sehingga Sutan Mangkutur tidak berdaya menghadapi tipuan Belanda.
Dan atas prestasi gemilang yang demikian itulah kiranya maka dikemudian hari Jenderal Michiels secara pribadi "menjamin kesetiaan Yang Dipertuan, dan dapat pula mengandalikan kepatuhannya".
Sutan Mangkutur Dibuang Oleh Belanda

Setelah Sutan Mangkutur dapat ditangkap Belanda cara tipuan yang licik itu, maka iapun dibawa ke Huta Godang. Kemudian dihadapkan "Namora Natoras" dan rakyatnya sendiri di Huta Godang, dengan cara yang amat menghinakan. Belanda mengumumkan diturunkannya Sutan Mangkutur dari tahta kerajaannya di Huta Godang, Ulu Pungkut, di Mandailing Julu.
Dan selajutnya, Sutan Mangkutur ditempatkan sebagai penjahat yang telah melawan terhadap Belanda, sehingga ia diwajibkan membayar denda dengan sejumlah mas kepada Belanda. Akhirnya "pada tahun itu juga (1839) diasingkan ke pulau Ambon dengan tiga orang saudaranya bernama: Sutan Naga, Sapala Raja, Raja Mangatas. Di tempat pengasingan itulah masing-masing menempuh ajalnya, cuma seorang yang sempat pulang ke negerinya, yaitu Sutan Mangatas. Beliau ini seroang budiman yang banyak beroleh pengetahuan selama berada di tempat pengasingan. Diterbarkannya penuntutan itu dan lama lagi hidup menceritakan semua kejadian dan pengalaman yang sudah-sudah, yaitu zaman yang penuh dengan pengorbanan, penderitaan, masa yang sudah lama silam".
Sebelum Belanda membawa Sutan Mangkutur dari Huta Godang ia lebih dahulu harus membayar denda emas yang telah dijatuhkan ke atas dirinya. Tetapi ternyata ia tidak mempunyai cukup mas untuk membayar denda tersebut.
Untuk mengatasi hal itu, tujuh orang raja dari Mandailing Julu semufakat untuk ikut bersama-sama membantu Sutan Mangkutur membayar denda itu kepada Belanda. Dan akhirnya delapan orang raja termasuk Sutan Mangkutur sendiri membayar denda tersebut, dengan memberikan masing-masing seperdelapan bahagian.
Pembahagian beban secara merata yang demikian itu, dikemudian hari dikenal sebagai solidaritas delapan raja di Mandailing Julu, dan dinamakan "Dandang na saparwaluan", yang dapat diartikan, masing-masing didenda seperdelapan bahagian.
Kedelapan raja di Mandailing Julu yang dikenal sebagai "Dandang na saparwaluan" itu terdiri dari:
1. Raja Huta Godang (Sutan Mangkutur sendiri)
2. Raja Patahajang
3. Raja Tolang
4. Raja Hutapungkut
5. Raja Tamiang
6. Raja Muarasipongi
7. Raja Pakantan Dolok
8. Raja Pakantan Lombang
Setelah pembayaran denda itu selesai, dibawalah Sutan Mangkutur dari Huta Godang, untuk selanjutnya dibuang oleh Belanda ke Ambon.
Pembuangan Sutan Mangkutur bersama tiga orang saudaranya itu, menimbulkan duka yang amat dalam bagi rakyat Mandailing yang bersimpati kepada mereka, terutama bagi penduduk di Huta Godang dan seluruh kawasan Ulu Pungkut. Rakyatnya sangat mencintai Sutan Mangkutur yang mereka kenal sebagai seorang raja "parbatu mamang di Indora" (raja yang mempunyai pendirian yang sangat teguh). Oleh sebab itu, ketika Belanda membawa Sutan Mangkutur dari Huta Godang, penduduk "mengandungi" atau meratapi kepergiannya dengan cara tradisional yang biasa dilakukan apabila raja meninggal dunia.
Meskipun kejadian menyedihkan itu terjadi hampir satu setengah abad yang lalu, hingga sekarang di Huta Godang masih ada orang yang ingat bahwa dahulu di negeri itu dalam kehidupan masyarakat pernah terdapat ratapan sedih yang bernama "Andung-andung ni Sutan Mangkutur na langka buat tu pambuangan" (ratapan untuk Sutan Mangkutur yang berangkat ke pembuangan).
Sejak Sutan Mangkutur dibawa Belanda dari Huta Godang hampir satu setengah abad yang lalu untuk dibuang ke Ambon karena telah melakukan perlawanan terhadap Belanda di Mandailing, ia tidak pernah kembali lagi, karena jiwanya melayang dalam pembuangan Belanda. Sampai sekarang tidak diketahui di mana letak pusaranya. Oleh sebab itu, kiranya tidak berlebihan kalau Sutan Mangkutur disebut sebagai "pahlawan yang dilupakan" selama ini.
Makam Raja - Raja keturunan  Sutan Mangkutur


1 komentar:

  1. Menarik.. tapi yg dipertuan huta siantar bisa jadi masih berpegang pada perjanjian raja gadumbang dengan belanda untuk mengusir kaum paderi supaya rakyat mandheling tetap menjunjung adat. Satu pertanyaan lagi.. kapan tepatnya secara resmi sutan mangkutur menjadi raja mandheling?

    BalasHapus